Gerakan Anihilasi dan Korupsi Futuristis

Ilustrasi By AI

Gerakan Anihilasi dan Korupsi Futuristis

Oleh : Muslimin, M.Pd (Muslimin Magenda)

Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram 


Apa jadinya jika di masa mendatang, perang korupsi sudah dapat diprediksi dari sekarang? Indikator Perang itu telah ada, tetapi hasil akhirnya belum dapat diprediksi.

Sebuah artikel yang ditulis oleh Jean Paul Baudrillard, tentang Hyper-reality, tertulis beberapa kalimat yang menegaskan bahwa terdapat dua sisi kehidupan yang sukar dipertemukan yakni hedonis dan idealis. Seperti di Amerika, kaum dominan telah menancap tapal batas mengenai makna kebahagiaan, kemapanan, dan kemajuan. Sementara kaum subordinat berupaya menggeser dengan definisi yang berlawanan. They have a job, thus they are a human being, kata-kata ini seperti mistik yang membuat orang-orang Amerika menghabiskan waktu di lokasi kerja. Tapi dampak gaji tinggi yang mereka peroleh dari kerja pagi hingga malam cukup mengerikan. Banyak anak-anak remaja Amerika merobek jantung-jantung ibu kota dengan aktifitas pesta-pora dengan uang banyak dari para orang tua.

Satu lagi buku berjudul BoBohemian, menggambarkan dua kelompok sosial yang saling opisisi, yang satu medefinisikan diri dengan kaum mapan yang moderen dan melaju menjemput perubahan teknologi serta agresif dalam segala arena hal yang berbau pesta kemewahan. Sebaliknya terdapat pula kelompok yang sengaja mengasingkan diri dan jauh dari sentuhan moderen. Mereka menamakan diri sebagai orang Borjuis Bohemian, yang anti ke-glamoran. Borjuis Bohemian adalah kelompok orang kaya yang berperilaku terbalik menurut orang kaya lainnya yang intim dengan kota metropolitan.

Persis seperti apa yang dikemukakan oleh Chris Barker, 2000, cultural studies, membuka ruang berpikir kita tentang perang moderen dan posmoderen, di mana revolusi Industri ternyata tidak serta merta mendapat dukungan dari semua kalangan. Banyak sekte yang menolak era itu dari pelbagai perspektif. Faktanya, sebagian Negara menganut ideologi sosialis, sebagian demokrasi, sebagian monarki, dan lain-lain. Lantas muncul gerakan-gerakan feminis yang menentang keras kaum misoginis atau mungkin cocok dengan istilah di negeri kita, penentang paham patriarkis. Muncul pula solidaritas kaum buruh yang menuntut peniadaan kelas akibat perilaku pemilik modal yang tidak transparan dalam hal upah, dan lain-lain.

Lantas, apa hubungan penggalan-penggalan ide di atas dengan perilaku korupsi? Korupsi menurut saya adalah sebuah cara hidup yang diyakini oleh seseorang sebagai bagian dari metode pemenuhan hasrat kehidupan. Oleh karenanya, mereka melakukan itu dengan kesadaran maksimal sehingga terhindar dari musuh-musuh yang mereka anggap pengacau. Perilaku korup seperti suatu hal yang sudah menjadi gaya hidup, atau mungkin sesuatu yang memiliki nilai kebenaran menurut perspektif pluralisme. Alasannya sederhana, bahwa penganut pluralisme cenderung mereduksi keberadaan nilai, dan memposisikan kebenaran menurut perspektif subjektif, atau relatifisme.

Dunia hari ini telah sepakat bahwa pluralisme harus didorong di setiap sisi kehidupan tanpa mengenal sekat dan corak pemikiran yang dianut oleh siapapun. Terlebih bagi Negara-negara demokrasi yang memberikan peluang kebebasan berekspresi dengan dalih saling menghargai hak asasi manusia. Itu diwujudkan oleh PBB dalam deklarasi HAM internasional pada tahun 1948. Indonesia pun menangkap dan mencengkeram itu melalui UU HAM dengan segudang alasan, termasuk mengaitkan itu secara sepihak dengan pancasila, khususnya sila ke-lima, ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Padahal menurut saya, UU HAM justru telah menenggalamkan makna sila ke-lima Pancasila itu sendiri. Sebab, HAM dan pluralisme tidak membicarakan porsi-porsi keadilan, tetapi lebih kepada sikap bebas berekspresi, bebas menakar kebenaran, bebas dalam hal apapun menurut logika berpikir masing-masing individu. Secara kasar, pluralisme juga memberikan peluang para koruptor mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan yang benar. Tapi kita masih beruntung memiliki pendapat bahwa korupsi adalah tindakan terlarang (forbidden act) yang harus dilawan, terlepas dari banyaknya perdebatan tentang timbangan hukum yang tepat bagi para pelaku.

Bisikan - Bisikan Stimulus

Di Indonesia, penyakit korup tidak lagi melulu bertatapan langsung dengan orang yang sudah berusia tua. Ciri-ciri korup masa depan sudah nampak di beberapa corak kehidupan. Wujudnya bahkan sudah muncul secara terang-terangan, seperti Gayus Tambunan, Nazarudin, Andi Malangeng, Anas Urbaningrum. Gayus dan Nazarudin adalah prototipe koruptor muda yang sangat mengagetkan. Usia yang belum menginjak 40 tahun sudah melakukan aksi penimbunan harta Negara beratus miliar rupiah. Kelakuan mereka kontras dengan beberapa aktivis anti-korupsi yang juga diisi oleh banyak anak muda, misalnya Novel Baswedan, Abraham Samad (KPK), aktifis ICW, FITRA, dan lain-lain.

Dua pilihan perilaku yang saling berperang tersebut bukan tidak pernah disebutkan dalam teori-teori ilmu pengetahuan. Semua itu telah dibicarakan oleh banyak pemikir, filosof, apalagi agamawan. Berhentinya perang pilihan itu dari akar-akarnya sepertinya belum dapat kita prediksi waktu dan gambaran kejadiannya. Sebab, sebagian terus menawarkan anti-korup, sebagian lain terus mengajak korup dengan cara dan alasannya sendiri.

Kelahiran korupsi bukan lantas menegaskan bahwa istilah yang kerap kita dengar, Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely sebagai sesuatu yang pasti terjadi. Justru di beberapa model kepemimpinan dalam sejarah, pendapat itu tidak terbukti. Misalnya khalifah Harun Arrasyid, Sulaiman (Ottoman), Salahuddin Al Ayubi (Mesir), Soekarno, dan banyak lainnya. Sebaliknya, di saat mereka memimpin, ada banyak perilaku korup yang justru ditunjukkan oleh para pedagang, pejabat bawahan, perempuan, pelayan kerajaan, penjaga pintu gerbang, yang diketahui belakangan hari.

Ini pertanda bahwa semua manusia memiliki potensi melakukan tindakan itu. Tidak peduli bagaimana pun model pemerintahan yang ada dalam suatu wilayah. Korupsi bisa lahir dari sebuah skenario kehidupan yang dikemas dalam satu narasi hebat kelompok-kelompok tertentu. Tetapi yang paling mengerikan adalah ketika kesadaran penuh kita hanya tertuju pada satu titik, yaitu lingkaran penguasa, maka kesadaran tentang kecenderungan lain pun terabaikan.

Kekuasaan hanyalah salah-satu alat menuju ke sana. Sementara mental korup sebagian orang justru terbentuk oleh sebuah peradaban di sekeliling yang dia yakini. Pembentukan kebudayaan, identitas, dan keyakinan seseorang tentu melewati berbagai macam fase, termasuk fase usia. Usia muda merupakan puncak pembentukan mental yang cukup mampu mengarahkan seseorang pada pilihan-pilihan tindakan di masa tua. Di usia muda pula manusia mulai mengolah ide menjadi sesuatu yang nyata. Semakin dia memiliki banyak ketertarikan pada segala-sesuatu, ia akan berusaha mendapatkan itu, bahkan dengan cara apapun, termasuk melempar umpan-umpan haram.

Seperti yang saya kutip dari cnnindonesia.com; beberapa kasus pemalsuan ijazah dan pembuatan skripsi menyeret Pejabat Kampus, Guru Besar dan calon guru besar. Bahkan Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada mengalami itu. Lebih suram lagi ketika Menristek dan Dikti, Muhammad Nasir, pernah membekukan kegiatan pendidikan di STIE Adhy Niaga, Bekasi, Juni lalu, akibat terkena kasus ijazah palsu. Logis bila kita menyebut keterlibatan kaum muda atas peristiwa tersebut, karena ijazah adalah kepentingan mereka.

Bila mengacu pada teori dasar behaviorisme yang salah-satunya dikemukakan oleh seorang psikolog Amerika, B.F. Skinner, maka kejadian di atas tidak lepas dari tarik menarik kepentingan manusia. Menurut Skinner yang saya kutip dari Personality Theories, 2010, hasil terjemahan oleh I.R. Munzir, manusia selalu bertindak mengikuti setiap konsekuensi-konsekuensi yang sudah mereka pertimbangkan. Maka apa-apa yang menurutnya lebih menguntungkan, akan mempengaruhi mental dalam melakukan sebuah tindakan. Sayangnya, kasus ijazah palsu tersebut melukiskan bahwa kepentingan hedonis lebih dominan dibanding kepentingan Negara, dalam hal ini menyangkut kualitas pendidikan. Contoh kasus ini juga sekaligus menjelaskan bahwa stimulan yang dilempar oleh kaum hedon lebih manjur dibanding stimulan yang diracik oleh Negara, sekaligus membuat saya berkesimpulan bahwa sistem bernegara kita belum berkenalan dengan sistem moralitas yang bersifat metafisik.

Purifikasi Doktrin Etnik

Secara etnografis, Negeri kita sudah menanam banyak benih yang sesungguhnya bermainstrim mutlak melawan perilaku dzolim ini. Ketika suku-suku mengeluarkan doktrin tentang kesucian moral, keadilan, kepatuhan beragama, kepatuhan bernegara, arif, bijaksana, dan sebagainya. Adakah salah-satu suku yang menganjurkan perbuatan korup di Negeri ini? Jika ada, pemerintah musti segera meluruskan itu. Akar perilaku manusia seringkali muncul dari doktrin kelompok terdekatnya. Tetapi seperti dalam tulisan saya sebelumnya, sepertinya ajaran-ajaran kebudayaan asli mulai dianggap sebagai barang kuno, tak laik jual, bahkan mungkin dianggap sesat dan mematikan. 

Dari sisi inilah saya menempatkan argumentasi tentang perang korupsi dan anti-korupsi di masa mendatang sudah terlihat hari ini. Dimana perilaku korup sudah menjadi kebiasaan hidup, dan bahkan mungkin sudah menjadi kebutuhan bagi pelakunya. Adapun beberapa kasus yang berhasil dibongkar, sampai pada pemberian hukuman berat bagi para pelaku, menurut saya belum cukup untuk mematikan virus utamanya. Tetapi apapun bentuk perlawanan terhadap korupsi adalah wajib mendapat dukungan.

Memang terdapat beberapa celah kecil yang bisa menjadi pemicu tumbuhnya jamur korupsi dari sisi ajaran etnis di Indonesia. Misalnya budaya toleransi dan kesopanan yang sejak kecil sudah ditanamkan oleh nenek moyang kita. Toleransi yang sudah mengakar di pikiran seakan-akan membisikkan semua aparat dan masyarakat untuk membuka keran permissive bagi pelaku korupsi. Karena itulah jeratan hukum yang diterapkan di Indonesia terhadap koruptor masih diperdebatkan. Salah satu yang membuat gusar adalah berlakunya sistem pengurangan masa tahanan karena alasan-alasan yang tidak masuk akal. Pola ini sangat bertentangan dengan istilah korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Semua itu terjadi karena pengaruh doktrin toleransi yang salah kaprah.

Karena itu, untuk beberapa hal, saya sepakat dengan pernyataan Sujiwo Tedjo, bahwa kesopanan kian memenjarakan bangsa ini dari keinginan berkata dan bertindak jujur dan tegas. Seperti juga Frans Magnis Suseno, yang berpendapat bahwa orang Indonesia terlalu patuh pada senior, sehingga para junior cenderung segan menegur setiap penyimpangan yang dilakukan oleh para senior. Memang budaya kita mengajarkan tentang itu dalam kehidupan sehari-hari, dan sudah menjadi bagian dari kepribadian banyak orang. Hanya saja, itu tidak boleh berlaku jeneral, karena masih ada ajaran-ajaran lain yang juga mengajarkan kita tentang kejujuran dan kebaikan-kebaikan lain.

Semua memiliki batasannya. seperti kita yang merasakan kehampaan hidup tanpa ada orang lain di sekitar. Itulah alasan mengapa harus mendalami budaya dan agama secara berkelanjutan. Kemampuan manusia selalu bertatapan dengan tembok pembatas, maka diperlukanlah peremajaan tentang kearifan, atau apa yang saya sebut purifikasi doktrin etnik. Mungkin dengan begitu bangsa ini dapat menembus jalan menuju kemakmurannya. Meniadakan proyek purifikasi ajaran nenek moyang sama halnya dengan membiarkan kecenderungan korupsi terbang sesuka hatinya. Sebab saat ini, gerakan anihilasi korupsi sudah didahului oleh indikator-indikator korupsi yang sedang menemui masa depannya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama